Selasa, 29 April 2014

TANTANGAN PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI

MAKALAH
TANTANGAN PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI




OLEH
    NAMA : HERMANUS MABEL
    NIM     : 200746030






`

PROGRAM STUDI MANAJEMEN HUTAN
MINAT KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN
FAKULTAS KEHUTANAN
UNIVERSITAS NEGERI PAPUA
MANOKWARI
2011





BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Seperti telah kita ketahui bersama, bahwa hutan merupakan paru-paru bumi satwa  hidup, pohon-pohon,  hasil tambang dan berbagai sumber daya lainnya  yang bisa  kita dapatkan dari hutan yang tak ternilai harganya  bagi manusia.  Hutan juga merupakan sumberdaya alam yang memberikan manfaat besar bagi kesejahteraan manusia, baik manfaat  tangible yang dirasakan secara langsung, maupun intangible yang dirasakan secara tidak langsung.  Manfaat langsung seperti penyediaan kayu, satwa, dan hasil tambang. Sedangkan manfaat tidak  langsung  seperti manfaat rekreasi, perlindungan dan pengaturan tata air, pencegahan erosi. Keberadaan hutan, dalam hal  ini daya dukung hutan terhadap segala aspek kehidupan manusia, satwa dan tumbuhan sangat ditentukan pada tinggi endahnya kesadaran manusia akan arti penting hutan  di dalam pemanfaatan dan pengelolaan hutan.  Hutan  menjadi  media hubungan timbal balik antara manusia dan makhluk hidup lainnya dengan  faktor-faktor alam yang terdiri dari proses ekologi dan merupakan  suatu kesatuan siklus yang dapat  mendukung  kehidupan (Reksohadiprojo, 2000).
Mengingat  pentingnya arti hutan bagi masyarakat, maka peranan dan Fungsi hutan tersebut perlu dikaji lebih  lanjut.  Pemanfaatan sumberdaya alam hutan apabila dilakukan sesuai dengan fungsi yang terkandung  di dalamnya, seperti adanya fungsi lindung, fungsi suaka, fungsi produksi, fungsi wisata dengan dukungan kemampuan  pengembangan sumberdaya manusia, ilmu pengetahuan dan teknologi, akan sesuai dengan hasil yang ingin dicapai.

B. TUJUAN
Kelestarian ekosistem hutan bertujuan memberikan arah pengelolaan  sumberdaya hutan dengan memadukan aspek ekonomi, ekologi dan sosial secara proporsional dan profesional. serta bertujuan untuk meningkatkan peran dan  tanggung  jawab pengelolaan secara lestari. hutan  dan  pihak  yang  berkepentingan  terhadap  keberlanjutan fungsi dan manfaat  sumberdaya  hutan, kelestaria ekosistem dilaksanakan di dalam dan di luar kawasan hutan  dengan mempertimbangkan skala  prioritas berdasarkan perencanaan partisipatif. Kelestarian ekosistem hutan  yang dilaksanakan di dalam  kawasan hutan  tidak bertujuan untuk mengubah status kawasan hutan, fungsi hutan dan status tanah negara.

C. MASALAH
Adapun masalah yang dihadapi dilapangan antara masyarakat dan pemerintah sebagai berikut :
  1. Keterlibatan belum optimal.
  2. Masih pada posisi obyek bukan sebagai subyek (sebagai pekerja).
  3. Belum ikut dalam proses pembuatan
  4. kebijakan dan keputusan.
  5. Tidak memberikan kesejahteraan
  6. Tidak merasa memiliki atas berbagai kebijakan dan program.
  7. Tidak merasa berkewajiban untuk menjaga dan memiliki hutan.
  8. MA kehilangan Sense of responsibility dan Sense of owership atas kebijakan dan program pembangunan Hutan.





BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi dan Pengertian Hutan
 Hutan secara konsepsional yuridis dirumuskan di dalam Pasal 1 Ayat (1)
Undang-undang  Nomor 41 Tahun 1999  tentang Kehutanan.   Menurut  Undang-
undang tersebut, Hutan adalah suatu  kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungan, yang satu  dengan  yang lainnya tidak dapat dipisahkan.    
Dari definisi hutan yang disebutkan, terdapat unsur-unsur yang meliputi :
a.  Suatu kesatuan ekosistem
b.  Berupa hamparan lahan
c.  Berisi sumberdaya alam hayati beserta alam lingkungannya  yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya.

B. STATUS DAN FUNGSI HUTAN
Status Dan Fungsi Hutan  seperti diatur dalam UU Kehutanan No 41/1999.
 (1)  Hutan berdasarkan statusnya terdiri dari:
a. hutan negara, dan
b. hutan hak.
(2) Hutan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dapat berupa hutan adat.
(3) Pemerintah menetapkan status hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2); dan hutan adat ditetapkan sepanjang kenyataannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan masih ada dan diakui keberadaannya.
(4) Apabila dalam perkembangannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan tidak ada lagi, maka hak pengelolaan hutan adat kembali kepada Pemerintah.
 (1) Hutan mempunyai tiga fungsi, yaitu:
a. fungsi konservasi
b. fungsi lindung, dan
c. fungsi produksi.
(2)  Pemerintah menetapkan hutan berdasarkan fungsi pokok sebagai berikut:
a. hutan konservasi,
b. hutan lindung, dan
c. hutan produksi.
Hutan konservasi terdiri dari:
a. kawasan hutan suaka alam,
b. kawasan hutan pelestarian alam, dan
c. taman buru.
Fungsi hutan tidak tergantung kepada pemilikan lahan, melainkan kepada sifat fisik lahan, vegetasi, dan budaya. Lahan hutan milik dengan kelerengan sangat curam (>40%) di Indonesia harus dialokasikan sebagai kawasan lindung, walaupun merupakan hutan milik, atau walaupun berada di tengah hutan produksi. Dari penjelasan di atas dapat dilihat bahwa sistem silvikultur ditetapkan per tegakan, dan urutan kegiatan perumusan silvikultur adalah sebagai berikut:
(1) berdasarkan jenis tanah, kemiringan lapangan, posisi dari perairan umum menentukan fungsi hutan,
(2) berdasarkan tujuan pengusahaan: menetapkan sistem silvikultur,
(3) Berdasarkan kondisi vegetasi pokok: menentukan perlakuan silvikultur.
Mengapa petak dibentuk? Petak dibentuk sebagai unit administrasi terkecil. Segala catatan: siapa yang melakukan, berapa biaya dan hasil, mengapa dilakukan, kapan dilakukan, berapa luas, di mana, semuanya dirinci dan dicatat per petak, bukan per anak petak. Catatan pengelolaan hutan secara rinsi dikumpulkan dalam buku
C. MASALAH
Indonesia sangatlah kaya akan berbagai sumber daya alam, termasuk keanekaragaman
hayati yang terkandung di dalamnya. Sumber daya alam yang tersebar di berbagai wilayah
Indonesia tersebut disadari suatu ketika akan habis dan punah jika pengelolaannya
dilakukan secara tidak lestari dan berkelanjutan.
 Dalam rangka melestarikan dan mengupayakan pemanfaatan sumber daya alam tersebut
dilakukan secara berkelanjutan -- dimana generasi masa yang akan datang berkesempatan
mewarisi sumber daya alam yang masih baik, maka pengelolaan sumber daya alam
ditujukan pada dua (2) hal yaitu pertama, pemanfaatan atau eksploitasi sumber daya alam
dan kedua, perlindungan atau konservasi. 

Berbagai kebijakan dibuat oleh pemerintah antara lain dengan menetapkan kawasan-
kawasan tertentu yang dapat dijadikan sebagai kawasan yang dapat dieksplotasi, dan
kawasan-kawasan yang harus dilindungi. Namun bukan berarti kawasan-kawasan tertentu
yang telah ditetapkan sebagai kawasan yang dapat dieksploitasi, baik eksploitasi sumber
daya alam hutan, tambang, minyak dan gas, ataupun sumber daya laut, dapat dieksploitasi
dengan semena-mena dan melupakan perhatian aspek daya dukung lingkungan,
kerusakan lahan, maupun upaya-upaya rehabilitasi. 
Sementara itu dalam rangka perlindungan, berbagai kawasan kemudian ditetapkan
sebagai kawasan lindung ataupun kawasan konservasi seperti hutan lindung, kawasan
bergambut, kawasan resapan air, sempadan pantai, sempadan sungai, kawasan sekitar
danau/waduk, kawasan sekitar mata air, kawasan suaka alam (termasuk, cagar alam),
kawasan suaka alam laut dan lainnya, mangrove, taman nasional, taman hutan raya,
taman wisata alam, kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan, kawasan rawan
bencana alam. Kawasan-kawasan tersebut tidak  hanya terdapat di wilayah daratan
dengan luas 16,2 juta hektar akan tetapi juga meliputi wilayah pesisir pantai dan laut yang
mencapai luas 3,2 juta hektar
1habis, sementara suksesi sumber daya alam yang dapat diperbaharui -- yang telah
dieksploitasi -- membutuhkan waktu lama untuk dapat diperbaharui kembali.

Ancaman tidak hanya muncul terhadap kawasan-kawasan yang dianggap sebagai kawasan
yang telah ditetapkan sebagai kawasan eksploitasi saja, akan tetapi juga tertuju kepada
kawasan-kawasan yang ditetapkan dan ditunjuk sebagai kawasan lindung ataupun
kawasan konservasi. Ancaman tersebut, disamping disebabkan oleh pertumbuhan
penduduk, juga disebabkan oleh perusakan langsung, konversi lahan, penangkapan secara
berlebihan spesies tertentu ataupun pengenalan spesies eksotik. Untuk kawasan
konservasi di Indonesia, ancaman yang juga besar adalah kebakaran hutan yang terjadi
setiap tahunnya. Pada tahun 1997-1998 misalnya kebakaran hutan telah menyebabkan
627.280 hektar lahan terbakar musnah oleh api. Pada tahun 1983, kebakaran tersebut
bahkan pernah mencapai 3,6 juta hektar hutan yang 496.000 hektar diantaranya adalah
kawasan lindung atau kawasan konservasi
Banyak kritik yang muncul terhadap keseriusan pemerintah selama ini dalam mengelola
kawasan konservasi. Hal ini disebabkan karena berbagai kebijakan dan peraturan
perundang-undangan yang ada justru memberi legitimasi eksploitasi sumber daya alam
secara besar-besaran, sementara upaya perlindungan dan konservasi bukanlah merupakan
prioritas yang setara. Oleh karenanya ada kesan bahwa kebijakan dan peraturan yang
berkaitan dengan pengelolaan kawasan konservasi seolah aturan pelengkap, dan bukan
memainkan peran sebagaimana misi sebenarnya.  

Pemerintah kerap menyebut berbagai hambatan yang dihadapi seperti luasnya cakupan
dan sebaran kawasan konservasi dan terbatasnya sumber daya manusia maupun dana,
sehingga pengelolaan kawasan konservasi yang dilakukan selama ini  berjalan agak
tersendat. Namun jika dilihat persoalan mendasar lainnya, adalah kuatnya ego sektoral,
baik di dalam (intern) departemen yang membawahi pengelolaan kawasan konservasi
sendiri (Departemen Kehutanan dan Perkebunan) maupun dari departemen lain yang
berkepentingan untuk mengeksploitasi kawasan konservasi. Faktor yang juga sangat
berpengaruh adalah pengelolaan yang sentralistik dan tidak diakomodirnya peran serta
masyarakat -- sebagai kekuatan riil dan potensial di lapangan, serta lemahnya penegakan
hukum. Kebijakan terpusat telah mematikan potensi dari pemerintah daerah, masyarakat
lokal atau adat, maupun potensi jangka panjang dari keberlanjutan dan kelestarian sumber
daya alam dan kawasan konservasi itu sendiri.    
 Melihat tingkat kerusakan yang terjadi dan aktivitas-aktivitas yang sangat berpotensi
menjadi ancaman terhadap kawasan konservasi.
Seiring dengan pertambahan penduduk, pertumbuhan ekonomi dan industrialisasi maka
tekanan terhadap sumber daya alam menjadi semakin besar, karena tingkat kebutuhan dan
kepentingan terhadap sumber daya alam juga semakin tinggi. Hal ini dapat dilihat dari
berbagai kenyataan betapa pembukaan hutan, kegiatan pertambangan dan eksploitasi
sumber daya alam lainnya dari tahun ke tahun bukannya menurun, akan tetapi semakin
besar. DenLaporan penelitian tentang  Kajian Hukum dan Kebijakan Pengelolaan Kawasan
Konservasi di Indonesia: Menuju Pengembangan Desentralisasi dan Peningkatan Peran
Serta Masyarakat yang dilakukan oleh Lembaga Pengembangan Hukum Lingkungan
Indonesia/  Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) ini, yang didukung  oleh
Natural Resource Management 2 (NRM2) bermaksud untuk mengkaji kebijakan dan
hukum terkini yang berkaitan dengan pengelolaan kawasan konservasi. Penekanan utama
ditujukan untuk melihat sejauhmana semangat desentralisasi dan peran serta masyarakat -
- sebagai prasyararat penting yang seharusnya ada dalam pengelolaan kawasan konservasi
dijadikan sebagai bagian dari kebijakan yang ada, dalam kaitannya dengan berbagai
tantangan yang ada, baik saat ini maupun dimasa yang akan datang. 
Hak-hak Masyarakat Hukum Adat dan anggota-anggotanyang untuk memungut hasil
hutan yang didasarkan atas suatu peraturan hukum adat sepanjang menurut kenyataannya
masih ada, pelaksanaannya perlu ditertibkan sehingga tidak mengganggu pelaksanaan
penguasaan hutan. Sementara itu, di dalam areal hutan yang sedang dikerjakan dalam
rangka pengusahaan hutan, pelaksanaan hak rakyat untuk memungut hasil hutan
dibekukan.  Disinilah sebenarnya akar dari berbagai ancaman dan konflik di dalam
pengelolaan sumber daya alam termasuk pengelolaan kawasan konservasi. Masyarakat
Adat dihilangkan akses dan kemampuannya untuk menentukan pengelolaan sumber daya
alam yang terdapat di sekitar mereka.





BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN
a.  Perencanaan partisipatif dan feksibel sesuai dengan karakteristik wilayah.
b.  Fleksibel, akomodatif, partisipatif dan kesadaran akan tanggung jawab sosial.
c.  Keterbukaan, kebersamaan, saling memahami dan pembelajaran bersama.
d.  Bersinergi dan terintegrasi dengan program-program Pemerintah Daerah.
e  Pendekatan dan kerjasama kelembagaan dengan hak dan kewajiban yang jelas.
Leveling the Playing Field Project Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM)
g.  Peningkatan kesejahteraan masyarakat desa hutan.
h.  Pemberdayaan masyarakat desa hutan secara berkesinambungan.
i.  Mengembangkan dan meningkatkan usaha produktif menuju masyarakat mandiri dan hutan lestari.

B. SARAN

1.      Perlu ada tinjauan khusus kepada masyarakat tentang pemahaman pengelolaan kawasan konservasi oleh Dinas terkait.
2.      mengambil sumber daya hutan terlebih dahulu memahami kaida-kaida kelestarian hutan.
3.      Untuk menjaga keseimbangan ekosistem perlu ada sosialisasi-sosialisasi kepada masyarakat hak wilayah oleh Dinas persangkutan atau melalui LSM.



DAFTAR PUSTAKA

Departemen Kehutanan dan Perkebunan. 1999.  Panduan Kehutanan Indonesia. Dephutbun RI.  Jakarta.
Departemen Kehutanan dan Perkebunan.  1999.  Undang-undang Nomor 41
Tahun 1999 tentang Kehutanan.  Dephutbun RI. Jakarta.
Departemen Kehutanan.  2001.  Keputusan Menteri Kehutanan No. 70/Kpts-II/2001 tentang Penetapan Kawasan Hutan, perubahan status dan fungsi kawasan hutan.  Jakarta.
Departemen Kehutanan.  2002. Peraturan  Pemerintah RI No. 34 tahun 2002 tentang Tata Hutan  dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan,Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan.  Jakarta.
Zain, AS. 1996. Hukum lingkungan Konservasi Hutan. Penerbit Rineka Cipta.Jakarta.
Zain, AS.  1997.  Aspek Pembinaan kawasan Hutan dan stratifikasi Hutan Rakyat.
Penerbit Rineka cipta.  Jakarta.